Lo pernah jalan-jalan di kota, terus nemu mural gede banget yang bikin lo berhenti dan mikir? Bukan cuma karena gambarnya bagus, tapi karena pesannya nusuk. Atau lo liat sebuah tag di tembok yang isinya bukan nama crew, tapi pertanyaan yang bikin lo merenung seharian.
Itulah yang terjadi ketika seni jalanan beranjak dewasa. Di 2025, dia udah bukan sekadar aksi vandalisme atau dekorasi semata. Dia sudah menjadi “pembicaraan kota” yang hidup. Sebuah dialog visual antara warga dengan ruang hidup mereka, yang seringkali lebih jujur dan blak-blakan daripada rapat kelurahan manapun.
Bukan Lagi “Gue Ada di Sini”, Tapi “Kita di Sini Gimana?”
Dulu, seni jalanan identik sama tag nama atau gambar-gambar stylized. Esensinya: “Look at me, I exist.” Sekarang, esensinya bergeser jadi: “Look at THIS. Do you see what I see?”
Seni jalanan 2025 adalah respons. Respons terhadap ketimpangan, terhadap perubahan iklim, terhadap politik yang bikin jengkel, terhadap budaya yang berubah. Dia adalah katalis yang memicu percakapan yang selama ini cuma jadi bisikan-bisikan di warung kopi.
Nih, contoh bagaimana seni jalanan berubah jadi aksi sosial:
- Mural “Dompet Rakyat” di Tembok Kementerian: Sebuah kolektif seni mural bikin gambar dompet raksasa yang bolong, dengan uang koin jatuh ke lobang hitam. Di sekelilingnya, ada angka-angka fiktif soal anggaran yang “hilang”. Itu bukan sekadar gambar. Itu adalah pernyataan politik yang bisa diliat semua orang, setiap hari. Dalam seminggu, foto mural itu jadi viral dan memaksa jawaban dari pejabat terkait. Sebuah platform dokumentasi seni jalanan (fictional) mencatat bahwa mural dengan tema kritik sosial mengalami peningkatan 150% dalam 2 tahun terakhir, dengan engagement online tertinggi.
- Instalasi “Titik Banjir” di Bawah Jembatan Layang: Komunitas seni lokal bikin instalasi dari sampah plastik yang dikumpulin dari kali. Mereka bentuk jadi semacam “water level marker” yang nunjukin ketinggian banjir tahun lalu, plus 1 meter lebih tinggi sebagai prediksi tahun depan. Ini seni jalanan yang fungsinya kayak peringatan dini visual. Bikin warga yang lewat nggak bisa tutup mata lagi soal masalah sampah dan banjir.
- Proyek “Suara Lorong” di Permukiman Padat: Seorang seniman jalanan kolaborasi dengan warga sebuah gang. Dia bikin semacam “papan cerita” raksasa di tembok ujung gang. Warga diajak nulis atau gambar harapan dan keluh kesah mereka tentang lingkungan mereka di sana. Tembok yang biasanya jadi tempat corat-coret atau iklan, berubah jadi ruang ekspresi warga yang demokratis. Ini seni jalanan sebagai terapi komunitas.
Tapi Hati-Hati, Jangan Sampai Pesennya Tersesat
Dalam perjalanan menjadi katalis, banyak juga yang gagal:
- Terlalu Abstak Sampe Nggak Ada yang Ngerti: Pesan sosialnya terlalu tersamar, akhirnya yang diliat cuma “gambar aneh” doang. Kekuatan seni jalanan ada di kemampuannya komunikasi langsung.
- Jadi Alat Elitisme Baru: Dilibatin galeri, harganya selangit, dan cuma bisa diapresiasi sama kalangan tertentu. Itu mengkhianati roh awalnya yang egaliter.
- Mengabaikan Konteks Lokasi: Ngecat mural tentang krisis air di daerah yang justru rawan banjir. Riset dan empati terhadap lingkungan tetep kunci.
Gimana Cara Kita Terlibat dalam ‘Pembicaraan Kota’ Ini?
Lo nggak harus pegang kaleng semprot atau kuas buat jadi bagian dari ini.
- Dokumentasi dan Sebarkan: Kalo nemu karya seni jalanan yang powerful, foto dan share. Tag lokasinya. Bantu amplifikasi suaranya.
- Dukung Komunitas Lokal: Cari tau kolektif seni jalanan di kotamu. Follow media sosial mereka. Kalo mereka ada event atau workshop, datengin. Dukungan audiens itu penting.
- Baca dan Interpretasi: Jangan cuma liat, baca. Apa pesannya? Siapa yang mungkin buat? Kenapa di lokasi ini? Latih diri buat jadi “pembaca” kota yang aktif.
- Ajak Ngobrol: Kalo lo liat ada karya yang kontroversial, ajak diskusi temen atau komunitas lo. Jadikan itu bahan obrolan yang produktif, bukan cuma gossip.
Jadi, seni jalanan 2025 itu adalah cermin yang kita tempatkan di sudut-sudut kota. Terkadang dia memperlihatkan sisi cantik kita, tapi lebih sering lagi dia memaksa kita untuk melihat kenyataan yang tidak nyaman, yang selama ini kita pilih untuk diabaikan. Dia adalah suara dari mereka yang seringkali tidak didengar, dilukiskan di kanvas terbesar yang ada: kota itu sendiri. Dan dalam pembicaraan kota yang hidup ini, kita semua adalah partisipannya—baik sebagai pembicara, pendengar, atau penyampai pesannya. So, what is your city saying to you today?